Aceh, Islam dan Globalisasi


Artikel ini ditulis oleh Iwan Doumy, S.Pd dan mendapat
 peringkat II kategori guru pada lomba artikel Hardikda Prov. Aceh Tahun 2015
 

Arus informasi yang hilir mudik tanpa henti menandakan bahwa globalisasi telah menghampiri. Melalui sarana internet peristiwa belahan bumi lain dapat diakses dengan hitungan detik. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, akses internet bukanlah fasilitas yang sulit dijumpai.

Hasil riset nasional yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia tahun 2014 berjumlah 88,1 juta dan 49%-nya berusia 18-25 tahun.

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah merambah seluruh komunitas di dunia, tak terkecuali Aceh. Efek globalisasi bagi masyarakat Aceh tidak lepas dari kisah pilu. Fakta kekinian pergeseran prilaku remaja Aceh semakin menjadi-jadi. Masih segar dalam ingatan bagaimana  terungkapnya prostitusi remaja di Bireuen, ditambah lagi hasil temuan Dinkes Lhokseumawe yang menyatakan 70% remaja daerah tersebut terlibat pergaulan bebas, dan beberapa kasus serupa lainnya? Tak terbayangkan sebelumnya hal tersebut juga bisa ditemukan di Aceh.

Prestasi pendidikan Aceh pun belum menggembirakan, salah satu indikatornya adalah peringkat nasional UN. Aceh pada tahun 2014 berada pada posisi paling bawah dari 34 provinsi. Untuk UN tahun 2015 memang tidak ada perangkingan nasional disebabkan kelulusan UN ditentukan oleh sekolah. Kemendikbud tahun 2015 mengumumkan 7 daerah yang memiliki indeks integritas UN tertinggi. Namun, Aceh bukan salah satu dari 7 daerah yang diumumkan tersebut. Lagi, tamparan bagi dunia pendidikan Aceh.

Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2013 dari 10 provinsi se-Sumatera, Aceh berada pada peringkat 9 dengan IPM 73,05 (Aceh dalam Angka, BPS, 2014). Daya saing pelajar Aceh memasuki perguruan tinggi pun masih rendah. Rangking nilai yang diperoleh SMA/MA/SMK yang mengikuti SMPTN di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking 31, dan untuk IPS menduduki rangking 25 (Abd. Majid, 2013).

Indikator lainnya bisa dilihat dari tingkat pendidikan penduduk Aceh seperti Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Rata-Rata Lama Sekolah (ARLS), dan Angka Partisipasi Murni (APM) sudah jauh lebih baik dan bahkan berada di atas level nasional. Namun, capaian tersebut belum signifikan meningkatkan daya saing pendidikan Aceh.

Beberapa fakta di atas adalah sekelumit permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Aceh.  Tidak bermaksud untuk mengeliminasi capaian prestasi pendidikan yang telah diukir, penulis hanya ingin menggugah kesadaran dalam memperbaiki sektor pendidikan yang belum menggembirakan.

Bijak Menghadapi Globalisasi

Akses global yang dipraktikkan masyarakat Aceh terutama pelajar belum optimal untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Akses global melalui sarana internet tidak manfaatkan secara bijak untuk meningkatkan daya saing.

Konten informasi yang dominan diakses kalangan pelajar bukanlah konten pendidikan melainkan konten hiburan dengan berbagai variannya. Hasil riset APJII mengungkapkan sebesar 87,4% menggunakan aplikasi jejaring sosial, posisi kedua adalah searching 68,7%, ketiga instant messaging 59,9%, keempat adalah mencari berita terkini 59,7%, kelima mengunduh (download) dan mengunggah (upload) video 27,3%.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan dari 89 juta pengguna internet di Indonesia, sebanyak 45 juta mengakses situs pornografi. Dia juga mengatakan kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak meningkat. Berdasarkan data 2013, 16% kasus kejahatan seksual anak dipengaruhi oleh tayangan pornografi. Angka itu meningkat menjadi 26% pada 2014.

Tidak heran, kondisi pergeseren prilaku remaja yang hedonis dan permisif  selayaknya gaya hidup Barat tidak sulit ditemui di Aceh. Hal ini cukup mengkhawatirkan bagi generasi Aceh saat ini dan yang akan datang.

Pemanfaatan TIK yang tidak bijak ini bukan berarti mendorong kita untuk menghindar ataupun menolak memanfaatkannya. Sebagai sebuah teknologi, memang memiliki potensi pemanfaatan untuk hal yang positif dan negatif. Tentunya teknologi pada hakikatnya adalah untuk memudahkan aktivitas manusia menjalani kehidupan.

Menghindari teknologi adalah langkah mundur. Secara faktual menunjukkan bahwa keterlambatan medapatkan informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan-kesempatan untuk maju. Informasi sudah merupakan komoditas layaknya barang ekonomi yang lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern seperti sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju era masyarakat informasi atau masyarakat ilmu pengetahuan. Itulah adanya, sebuah realitas yang harus dihadapi dengan cerdas.

Pendidikan Global dan Islam

Salah satu tujuan pendidikan global adalah untuk meningkatkan daya saing di tengah kancah pasar bebas. Pendidikan global merupakan pendidikan yang membekali wawasan global untuk peserta didik memasuki era globalisasi.

Wawasan dan budaya global Barat yang tanpa batas tentu menjadi masalah tersendiri bagi Aceh. Religiusitas masyarakat tidak boleh dirobohkan oleh budaya global yang sekuler dan liberal. Justru melalui religiusitas tersebut, Aceh memiliki cara pandang yang khas dalam menghadapai era globalisasi. Kata kuncinya terletak pada Islam.

Abdurrahman (2004) dalam buku Islam Politik dan Spiritual menyebutkan bahwa Islam sebagai agama dan mabda’ (ideologi) yang mengajarkan spiritualisme dan politik. Bukti tentang hal ini, ditinjau dari aspek normatif (ajaran yang tertuang dalam nas), aspek historis (fakta sejarah penerapan Islam) dan aspek empiris (sisa-sisa penerapan Islam). Pandangan ini memposisikan Islam sebagai problem solving (solusi) atas semua masalah yang dihadapi manusia.

Universalitas Islam yang diajarkan Rasulullah SAW telah mampu menaungi keberagaman agama, suku, dan ras. Kekuasaan Islam pada masa kejayaannya telah membentang dari Maroko hingga Merauke, bukan dengan paradigma kolonialisme (penjajahan).

Penulis mengutip pengakuan dari seorang intelektual non-Muslim yang jujur melihat sejarah emas peradaban Islam.

Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa(Will Durant, The Story of Civilization).

Terkait dengan pendidikan, Islam memiliki pengaturan yang jelas, sistematis, dan sempurna. Yusanto dkk. (2011) dalam buku Menggagas Pendidikan Islami, pendidikan merupakan upaya sadar, terstruktur dan sistematis  untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah (hamba/abdi) dan khalifah Allah di muka bumi.  

Cara pandang pendidikan seperti ini telah menghasilkan torehan emas sejarah peradaban dunia. Hal ini telah digambarkan oleh As-Sirjani (2011) dalam buku berjudul Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (edisi Indonesia).

Jadi, Aceh harus percaya diri dengan nilai dan semangat Islam yang dimilikinya. Menjadikan Islam sebagai landasan yang mendorong pendidikan global adalah sebuah keharusan bagi Aceh.

Secara yuridis, Aceh memiliki potensi untuk mendorong pendidikan global yang berbasis Islam. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh memiliki peluang untuk berbuat banyak dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada semua sektor, terutama pendidikan. Hal ini dikuatkan dengan Qanun Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dimana ditegaskan bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan di Aceh adalah sistem pendidikan Islami.

Aceh di bawah pemerintahan dr. H. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) telah mengambil porsi strategis untuk mewujudkan pendidikan Aceh yang lebih baik. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2012-2017 pemerintahan Zikir berupaya menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan. Pilar Dinul Islam yang terdiri dari akidah, syariah dan akhlak diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Aceh.

Dalam tataran implementasi muatan Dinul Islam dan konsep pendidikan Islami di Aceh belum memiliki strategi implementasi yang jelas. Hal ini menyebabkan pendidikan Islami masih dalam tataran konsep.

Memang penulis memahami bahwa di tengah sistem pendidikan nasional yang sekuler yaitu memisahkan pendidikan agama dan umum, bukanlah hal mudah mengimplementasikan pendidikan Islami. Namun, bukan berarti tidak bisa. Peluang integrasi pendidikan Islami pada Kurikulum 2013 sangat mungkin dilakukan mengingat Kurikulum 2013 mengakomodasi kompetensi inti yang membentuk nilai-nilai karakter yaitu spiritual dan sosial.          

Implementasi pendidikan Islami bagi pemerintahan Zikir dan masyarakat Aceh secara umum adalah perkara yang mendesak. Tantangan global akan terus menggerus nilai-nilai religiusitas masyarakat. Dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 misalnya menjadi tantangan sekaligus pertaruhan bagi Aceh. Untuk itu, perlu upaya cepat dan terarah.

Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Zikir diantaranya, pertama, mematangkan konsep pendidikan Islami dan integrasi muatan Dinul Islam pada semua sektor. Kedua, menyusun kurikulum, dan silabus yang terintegrasi. Ketiga,  menyusun strategi dan road map implementasi kurikulum yang terintegrasi.

Upaya cepat dan terarah juga harus dilakukan untuk meminimalisasi efek negatif arus global informasi melalui internet diantaranya, pertama, mengeluarkan kebijakan mengatur penggunaan internet, yaitu memblokir situs porno melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta pihak penyedia layanan internet (ISP). Kedua, memperbanyak konten positif di internet seperti konten pembelajaran, game edukasi dan lain sebagainya. Ketiga, melakukan edukasi  internet syar’i yaitu memahamkan pemanfaatan internet sesuai dengan ketentuan syariat kepada masyarakat.

Semoga dengan membaiknya pendidikan Aceh akan berkontribusi untuk masa depan Aceh yang gemilang. Keunggulan dan kekhasan Aceh pada sisi kehidupan beragama, budaya dan pendidikan adalah energi bagi kejayaan Aceh. Aceh akan kembali  memiliki segudang prestasi sehingga menjadi inspirasi bagi nusantara bahkan dunia. []

Link berita: Berita Serambi Indonesia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama