Arus informasi yang hilir mudik tanpa henti menandakan bahwa globalisasi telah menghampiri. Melalui sarana internet peristiwa belahan bumi lain dapat diakses dengan hitungan detik. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, akses internet bukanlah fasilitas yang sulit dijumpai.
Hasil riset
nasional yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII), menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia tahun 2014 berjumlah
88,1 juta dan 49%-nya berusia 18-25 tahun.
Perkembangan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah merambah seluruh komunitas di
dunia, tak terkecuali Aceh. Efek globalisasi bagi masyarakat Aceh tidak lepas
dari kisah pilu. Fakta kekinian pergeseran prilaku remaja Aceh semakin
menjadi-jadi. Masih segar dalam ingatan bagaimana terungkapnya prostitusi remaja di Bireuen,
ditambah lagi hasil temuan Dinkes Lhokseumawe yang menyatakan 70% remaja daerah
tersebut terlibat pergaulan bebas, dan beberapa kasus serupa lainnya? Tak
terbayangkan sebelumnya hal tersebut juga bisa ditemukan di Aceh.
Prestasi
pendidikan Aceh pun belum menggembirakan, salah satu indikatornya adalah
peringkat nasional UN. Aceh pada tahun 2014 berada pada posisi paling bawah
dari 34 provinsi. Untuk UN tahun 2015 memang tidak ada perangkingan nasional
disebabkan kelulusan UN ditentukan oleh sekolah. Kemendikbud tahun 2015
mengumumkan 7 daerah yang memiliki indeks integritas UN tertinggi. Namun, Aceh
bukan salah satu dari 7 daerah yang diumumkan tersebut. Lagi, tamparan bagi dunia
pendidikan Aceh.
Dilihat dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2013 dari 10 provinsi se-Sumatera, Aceh
berada pada peringkat 9 dengan IPM 73,05 (Aceh dalam Angka, BPS, 2014). Daya
saing pelajar Aceh memasuki perguruan tinggi pun masih rendah. Rangking nilai
yang diperoleh SMA/MA/SMK yang mengikuti SMPTN di berbagai perguruan tinggi di
seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking 31, dan untuk IPS
menduduki rangking 25 (Abd. Majid, 2013).
Indikator lainnya
bisa dilihat dari tingkat pendidikan penduduk Aceh seperti Angka Partisipasi
Kasar (APK), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Rata-Rata Lama Sekolah (ARLS), dan Angka
Partisipasi Murni (APM) sudah jauh lebih baik dan bahkan berada di atas level
nasional. Namun, capaian tersebut belum signifikan meningkatkan daya saing
pendidikan Aceh.
Beberapa fakta di
atas adalah sekelumit permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Aceh. Tidak bermaksud untuk mengeliminasi capaian
prestasi pendidikan yang telah diukir, penulis hanya ingin menggugah kesadaran dalam memperbaiki sektor pendidikan yang belum
menggembirakan.
Bijak Menghadapi Globalisasi
Akses global yang
dipraktikkan masyarakat Aceh terutama pelajar belum optimal untuk mendongkrak
kualitas pendidikan. Akses global melalui sarana internet tidak manfaatkan
secara bijak untuk meningkatkan daya saing.
Konten informasi
yang dominan diakses kalangan pelajar bukanlah konten pendidikan melainkan
konten hiburan dengan berbagai variannya. Hasil riset APJII mengungkapkan
sebesar 87,4% menggunakan aplikasi jejaring sosial, posisi kedua adalah searching
68,7%, ketiga instant messaging 59,9%, keempat adalah mencari berita
terkini 59,7%, kelima mengunduh (download) dan mengunggah (upload)
video 27,3%.
Ketua Komisi
Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan dari 89 juta
pengguna internet di Indonesia, sebanyak 45 juta mengakses situs pornografi.
Dia juga mengatakan kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak meningkat.
Berdasarkan data 2013, 16% kasus kejahatan seksual anak dipengaruhi oleh
tayangan pornografi. Angka itu meningkat menjadi 26% pada 2014.
Tidak heran,
kondisi pergeseren prilaku remaja yang hedonis dan permisif selayaknya gaya hidup Barat tidak sulit
ditemui di Aceh. Hal ini cukup mengkhawatirkan bagi generasi Aceh saat ini dan
yang akan datang.
Pemanfaatan TIK
yang tidak bijak ini bukan berarti mendorong kita untuk menghindar ataupun
menolak memanfaatkannya. Sebagai sebuah teknologi, memang memiliki potensi
pemanfaatan untuk hal yang positif dan negatif. Tentunya teknologi pada
hakikatnya adalah untuk memudahkan aktivitas manusia menjalani kehidupan.
Menghindari
teknologi adalah langkah mundur. Secara faktual menunjukkan bahwa keterlambatan
medapatkan informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan-kesempatan
untuk maju. Informasi sudah merupakan komoditas layaknya barang ekonomi yang
lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern seperti
sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju era
masyarakat informasi atau masyarakat ilmu pengetahuan. Itulah adanya, sebuah
realitas yang harus dihadapi dengan cerdas.
Pendidikan Global dan Islam
Salah satu tujuan
pendidikan global adalah untuk meningkatkan daya saing di tengah kancah pasar
bebas. Pendidikan global merupakan pendidikan yang membekali wawasan global
untuk peserta didik memasuki era globalisasi.
Wawasan dan budaya
global Barat yang tanpa batas tentu menjadi masalah tersendiri bagi Aceh. Religiusitas
masyarakat tidak boleh dirobohkan oleh budaya global yang sekuler dan liberal.
Justru melalui religiusitas tersebut, Aceh memiliki cara pandang yang khas
dalam menghadapai era globalisasi. Kata kuncinya terletak pada Islam.
Abdurrahman (2004)
dalam buku Islam Politik dan Spiritual menyebutkan bahwa Islam sebagai agama
dan mabda’ (ideologi) yang mengajarkan spiritualisme dan politik. Bukti
tentang hal ini, ditinjau dari aspek normatif (ajaran yang tertuang dalam nas),
aspek historis (fakta sejarah penerapan Islam) dan aspek empiris (sisa-sisa
penerapan Islam). Pandangan ini memposisikan Islam sebagai problem solving
(solusi) atas semua masalah yang dihadapi manusia.
Universalitas
Islam yang diajarkan Rasulullah SAW telah mampu menaungi keberagaman agama,
suku, dan ras. Kekuasaan Islam pada masa kejayaannya telah membentang dari
Maroko hingga Merauke, bukan dengan paradigma kolonialisme (penjajahan).
Penulis mengutip
pengakuan dari seorang intelektual non-Muslim yang jujur melihat sejarah emas
peradaban Islam.
Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas
yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah
itu pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan
memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum
pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan
kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu,
sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa… (Will Durant,
The Story of Civilization).
Terkait dengan
pendidikan, Islam memiliki pengaturan yang jelas, sistematis, dan sempurna. Yusanto
dkk. (2011) dalam buku Menggagas Pendidikan Islami, pendidikan merupakan upaya
sadar, terstruktur dan sistematis untuk
mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah (hamba/abdi) dan
khalifah Allah di muka bumi.
Cara pandang
pendidikan seperti ini telah menghasilkan torehan emas sejarah peradaban dunia.
Hal ini telah digambarkan oleh As-Sirjani (2011) dalam buku berjudul Sumbangan
Peradaban Islam pada Dunia (edisi Indonesia).
Jadi, Aceh harus
percaya diri dengan nilai dan semangat Islam yang dimilikinya. Menjadikan Islam
sebagai landasan yang mendorong pendidikan global adalah sebuah keharusan bagi
Aceh.
Secara yuridis,
Aceh memiliki potensi untuk mendorong pendidikan global yang berbasis Islam. Melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh
memiliki peluang untuk berbuat banyak dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam
pada semua sektor, terutama pendidikan. Hal ini dikuatkan dengan Qanun
Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dimana
ditegaskan bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan di Aceh adalah sistem
pendidikan Islami.
Aceh di bawah
pemerintahan dr. H.
Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) telah
mengambil porsi strategis untuk mewujudkan pendidikan Aceh yang lebih baik.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2012-2017 pemerintahan Zikir berupaya menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai
Dinul Islam di semua sektor kehidupan. Pilar Dinul Islam yang terdiri dari
akidah, syariah dan akhlak diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan di
Aceh.
Dalam tataran
implementasi muatan Dinul Islam dan konsep pendidikan Islami di Aceh belum
memiliki strategi implementasi yang jelas. Hal ini menyebabkan pendidikan
Islami masih dalam tataran konsep.
Memang penulis memahami bahwa di tengah sistem pendidikan nasional yang sekuler yaitu memisahkan pendidikan agama dan umum, bukanlah hal mudah mengimplementasikan pendidikan Islami. Namun, bukan berarti tidak bisa. Peluang integrasi pendidikan Islami pada Kurikulum 2013 sangat mungkin dilakukan mengingat Kurikulum 2013 mengakomodasi kompetensi inti yang membentuk nilai-nilai karakter yaitu spiritual dan sosial.
Implementasi
pendidikan Islami bagi pemerintahan Zikir dan masyarakat Aceh secara umum
adalah perkara yang mendesak. Tantangan global akan terus menggerus nilai-nilai
religiusitas masyarakat. Dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir
2015 misalnya menjadi tantangan sekaligus pertaruhan bagi Aceh. Untuk itu,
perlu upaya cepat dan terarah.
Upaya yang perlu
dilakukan oleh pemerintahan Zikir diantaranya, pertama, mematangkan
konsep pendidikan Islami dan integrasi muatan Dinul Islam pada semua sektor. Kedua,
menyusun kurikulum, dan silabus yang terintegrasi. Ketiga, menyusun strategi dan road map
implementasi kurikulum yang terintegrasi.
Upaya cepat dan
terarah juga harus dilakukan untuk meminimalisasi efek negatif arus global
informasi melalui internet diantaranya, pertama, mengeluarkan kebijakan
mengatur penggunaan internet, yaitu memblokir situs porno melalui kerja sama
dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta pihak penyedia layanan
internet (ISP). Kedua, memperbanyak konten positif di internet seperti
konten pembelajaran, game edukasi dan lain sebagainya. Ketiga,
melakukan edukasi internet syar’i
yaitu memahamkan pemanfaatan internet sesuai dengan ketentuan syariat kepada
masyarakat.
Semoga dengan membaiknya pendidikan
Aceh akan berkontribusi untuk masa depan Aceh yang gemilang. Keunggulan dan
kekhasan Aceh pada sisi kehidupan beragama, budaya dan pendidikan adalah energi
bagi kejayaan Aceh. Aceh akan kembali
memiliki segudang prestasi sehingga menjadi inspirasi bagi nusantara
bahkan dunia. []
Link berita: Berita Serambi Indonesia
Posting Komentar